Pengantar Saja

Kalau kamu tidak lebih baik daripada saya lebih baik kamu tidak usah lahir, dan saya tidak usah mati!....read more

Mengapa harus menulis?

apakah ketika kita menulis harus memiliki sebuah literature. Ide itu seringkali muncul, namun tidak dapat menuliskannya dan berhenti hanya di satu paragraf.....read more

Negara yang Beragama atau Manusia yang Beragama?

Ada Suatu kaum yang hidup tenang, tentram dan harmonis di antara warganya. Pola hidup mereka sangat sederhana atau bisa dikatakan masih primitif, tapi itu tidak penting....read more

Mereka tak Merasakan Bahagia?

apakah benar burung di langit yang bebas terbang kemana pun juga dapat merasakan bahagia?read more


.:: SELAMAT DATANG DI BLOG GENCAR ::.

MARI BERBICARA TENTANG MASA (DI) DEPAN*

Senin, 20 Januari 2014
Ada benarnya juga kata-kata bapak itu. Banyak kaum bijak yang menyatakan diri seorang enterpreneur berkampanye dengan tagline: Kita harus kaya, beranilah untuk menjadi kaya. Namun bapak yang mulai menua itu berpikir lain, "Jangan takut miskin nak!!", katanya.

Kurang ajar sekali Pak Karni ini -ya kami memanggilnya demikian- dunia psikologi menganjurkan untuk menghindari pemakaian kata-kata negatif, seperti -jangan begitu, tidak boleh begitu dll-  dalam mengajak seseorang, terlebih untuk perbuatan baik. Kenapa harus milih kata "jangan", si tua berkacamata yang mulai ubanan ini.

Awalnya saya hanya berjalan-jalan menyusuri lingkungan yang tiap hari entah berapa ribu kali saya lewati, bisa juga tak terhitung berapa kali saya meludah di situ guna menetralisir rongga mulut yang mengasam gara-gara sikat gigi lupa minum. Keluar dari penatnya kamar, bosan dengan ruang sempit dimana 60% dari hidup tiga tahun kebelakang saya habiskan. Mencemaskan apa gerangan yang akan terjadi sepuluh tahun kedepan, di usia 30 th, 40 th dan seterusnya. Sampai akhirnya menemui bapak tua
berjengot tebal, berkacamata minus dan Rambut samping, jambang dan jenggot menjadi satu. Namun terlihat seperti orang terawat, duduk di jalanan sepi yang seharusnya ramai.

Dia menjelaskan bahwa setan menggoda kaum manusia dengan kecemasan berupa kelaparan dan kemiskinan. Kalau pun kamu dapat melewatinya sama sekali itu belum aman. Untung saja umpatan-umpatan saya tadi hanya umbar dalam hati.

Beliau (panggilan berubah halus karena penulis mulai menaruh hormat akibat kata-kata bijak yang dikeluarkan) melanjutkan, dalam Syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka-buka alam ghaib , dan kemudian terhanyut dalam kecemasan-kecemasan yang baru dugaan darinya adalah tidak dibenarkan. Di dunia banyak yang termakan oleh ramalan-ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krisis ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal, semua itu hanyalah bagian dari yang diajarkan di "sekolah-sekolah setan", wajah saya mulai serius tapi tetap cuek.

Kemudian beliau semena-mena mencomot Firman Allah: "Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan darin-Nya dan karunia". Quran Surat al-Baqarah 268 (jangan percaya dulu sebelum anda cek, pen.)

"Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum pernah terjadi!!!", sentak beliau. Songong banget kan?

Karena usia saya jauh di bawahnya, saya hanya menundukkan kepala. Kamu tahu, itu cara paling aman ketika menghadapi orang tua yang kolot.

Hari esok adalah sesuatu yang belum nyata, tak dapat diraba, belum berwujud, dan tak memiliki rasa dan warna. Jika demikian, mengapa kita menyibukkan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan-kesialan yang mungkin akan terjadi padanya, memikirkan kejadian-kejadian yang akan menimpanya dan meramalkan  bencana-bencana yang bakal ada di dalamnya? bukankah kita tak tahu apakah akan bertemu dengan hari esok, kalo iya apakah esok kita itu akan berwujud kesenangan ato kesedihan?

"mas Gencar", neplok pundak. Saya kaget dan mengangkat pandangan ke wajah beliau, mengubah posisi merunduk menjadi lebih tegap.

"Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam ghaib dan belum turun ke bumi".

"Nggih Pak", sambut saya dengan suara rendah menggemetar.

"Tidak Pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang)nya".

"Owh ngoten...", seolah-olah fokus.

"Sampeyan harus percaya, karena itu Dawuh Gusti Pangeran lewat An-Nahl", Menyunggingkan senyum dan mata menyipit.

Beberapa hari setelah percakapan kami berakhir. Belakangan saya ketahui, nama Bapak itu adalah Pak 'Aidh al-Qarni. Saya segera sadar kalau beliau bukan orang yang kolot seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Saya rasa anda akan langsung paham, bahkan lebih menganggapnya orang hebat.

Iya, beliau adalah pengarang "La Tahzan".
________________
*nb: ini hanya cerita, sangat fiktif. Jika ingin protes sebaiknya urungkanlah.

0 comments:

Posting Komentar